Kamis, 20 Oktober 2011

TV Kabel, Pilihan Alternatif untuk Si Kecil?


Sebuah iklan TV kabel sempat membuat saya tergoda untuk menjejali si kecil dengan baby TV. Terlebih setelah keluarga besar suami kerap menceritakan anak sepupu suamiku (kini 4 tahun) yang fasih berbahasa Inggris yang katanya gara-gara langganan TV kabel. Tapi aku lebih percaya, kepintaran bahasanya tidak semata didapat karena setiap hari memelototi TV tetapi karena ibunya yang lulusan sarjana Inggris dan memutuskan bekerja dari rumah (sebagai penerjemah teks film), berperan aktif. 
Atau pilihan TV sebagai media belajar sebagai bentuk kemajuan jaman dan teknologi? Yap, karena kehadiran TV kabel memberi warna baru pada siaran TV.  TV dihujat karena lebih banyak memberikan dampat negatifnya daripada positif pada anak-anak. Iklan, sinetron, reality show dan berita yang terlalu vulgar mempertontonkan kekejaman dan penderitaan sekaligus. Faktanya kini TV jadi pilihan alternatif untuk membuat si kecil pintar seperti diiklankan sebuah TV kabel.
Seperti sempat direkomendasikan seorang teman, ”Jadi pintar. Sekarang Bunga (3 tahun) sudah hapal semua warna, angka sampai sepuluh, nama-nama binatang. Dari pada main di luar. Panas, takut ketabrak motor, diculik atau kebawa tengil kayal si A, itu lho putranya jeng   C.” Saat saya ke rumahnya, memang anaknya tengah menonton TV kabel sambil tiduran dan kehadiran saya  yang duduk tak jauh darinya tidak membuatnya mengalihkan perhatiannya dari TV.
Tetangga saya yang lain berkata,”Jeng kan tahu sendiri, saya kerja. Nggak bisa saban hari dampingi  dan ngajari si kecil. Si mbak pengasuhnya bisa apa? Inginnya titip di day care tapi belum kejangkau. Mahal.”  
Kali lain  di suatu hari beranjak siang, saya mampir ke rumah seorang teman suami yang juga tetangga satu blok. Hari yang begitu sibuk untuk keluarga dengan dua anak balita. TV kabel mempertontontan film kartun dengan suara stereo. Si ibu berteriak – menyaingi suaraTV – menyuruh sang kakak segera masuk kamar mandi yang masih berdiri di depan kamar mandi dengan mata terpaku pada TV padahal semua baju sudah ia lucuti. Adik laki-lakinya, duduk di depan TV dengan posisi kepala setengah tengadah, karena nontonnya terlalu dekat, dengan tangan kanan menggantung, menggenggam sendok berisi nasi goreng tapi nasi itu tak juga sampai ke mulutnya saking asiknya menonton TV. Ketika si ibu mengingatkan baru dia menyuapkan nasinya ke mulut.
Yap, TV begitu mempesona bahkan menghipnotis anak-anak. Tidak mengherankan jika anak-anak sekarang tidak pernah merasakan serunya main galah, petak umpet atau loncat tinggi atau memanjat pohon tetangga.
Sejujurnya, ini membuat saya gelisah. Apa sebaiknya saya pun membiarkan si kecil menghabiskan harinya di depan TV sementara saya bekerja, supaya pintar (karena sejujurnya, saya tidak mau si kecil kalah pintar. Sindrom ibu baru?)? Tapi rasanya kok nggak rela juga membiarkan si kecil menghabiskan waktunya di depan TV walaupun dengan alasan biar pintar.
Keraguan itu memaksa saya buka-buka library Om Google. Kebanyakan artikel memuat dampak negatif TV terhadap si kecil. Entah itu thema dari tontonan TV yang memang tak layak dikonsumsi si kecil, seperti sinetron, iklannya yang mempengaruhi si kecil menjadi berbudaya konsumtif. Bagaimana dengan baby TV yang themanya memang untuk bayi, batita dan balita?  
Dari hasil tanya tetangga dan teman sana sini, ternyata; bayi dan batita yang belum ikut play group menghabiskan lebih dari 6 jam untuk menonton TV. Biasanya pagi sampai menjelang tidur siang dan sore hari. Sementara jika sudah ikut play group atau Taman Kanak-Kanak  (kegiatan diluar rumah),  rata-rata menghabiskan 4 jam di depan TV. Selama ini si kecil (14 bulan) pun sudah saya kenalkan pada TV. Bedanya si kecil hanya tahu TV bisa nyala jika compact cd/dvd saya masukkan ke player. Dan jika cd/dvd nya habis dengan sendirinya ia akan beranjak dari depan TV dan mengacak-ngacak mainan di boksnya.
Mulailah saya mencari-cari alasan itu untuk memutuskan ’ketat membatasi paparan TV pada si kecil’. 
Sampai saya menemukan benang hitam putih antara TV, teori Multiple Intelligence Howard Gardner dan Read Loud nya Jim Trealease. Hipotesis di bawah ini hanya menurut saya, yang lebih banyak mengandalkan insting, asumsi dan idealisme seorang mama. 

Kecerdasan Linguistik-verbal 
Ada yang menilai, terlalu banyak menonton TV menghambat perkembangan bicara anak. Saya agak ragu dengan pendapat ini karena pada anak usia dini (batita atau balita) malah senang meniru. Termasuk meniru berbagai suara.
Menurut saya, TV tidak menghambat kemampuan bicara  tapi menghambat anak mengkomunikasikan apa yang ingin ia bicarakan (pikirkan). Karena kemampuan berkomunikasi tidak saja mengacu pada kata yang dikomunikasikan tapi bahasa tubuh, pilihan kata dan sikap tubuh. Dengan daya hipnotisnya, TV memungkinkan anak berlama-lama memelototi sehingga waktu untuk bermain dengan teman sebayanya atau bereksplorasi dengan benda yang ada di sekelilingnya (mainan atau barang-barang yang ada di rumah) terbatas atau bahkan mungkin tidak ada. Padahal bermain bagi anak-anak bukan sekedar membuat mereka bahagia dan tertawa tapi  sama dengan belajar berinteraksi, bersosialisasi termasuk membentuk rasa simpati dan empati.
Kosakata yang digunakan dalam tontonan TV, kosa kata yang umum digunakan, simple dan praktis. Berbeda  dengan buku. Kosakata dalam buku lebih banyak dan jarang ditemui dalam percakapan sehari-hari. Kalau menurut Jim Trelease, banyaknya kosakata yang dimiliki anak menjadi modal dasar  untuknya mampu menangkap informasi apapun. Anak yang sering dibacakan buku oleh orang tuanya lebih mudah menangkap pelajaran di sekolah kelak.
2. Kecerdasan Visual-Spasial
Kecerdasan yang dimiliki arsitek, insinyur, seniman, fotografer, pilot, pemahat dan penemu.
Gambar di TV terdiri dari puluhan (bahkan ratusan dan ribuan) frame yang bergerak cepat. Membuat anak tak sempat melihat  detail sebuah gambar atau benda. Ini berbeda jika si kecil melihat dan meraba gambar di sebuah buku atau berinteraksinya dengan lingkungan sekitar dan alam, ia belajar mengenal, melihat dan meraba sebuah detail. Juga memancing imajinasi liarnya.
Walaupun kita memang tidak menginginkan si kecil kelak jadi insinyur, fotografer atau seniman. Mengembangkan kecerdasan ini pada si kecil tetap di nilai penting  Karena kecerdasan ini mampu meningkatkan kreativitas, meningkatkan daya ingat, keterampilan memecahkan masalah dan membantu anak mengungkapkan perasaan dan emosi.



3.  Kecerdasan Matematis-Logis
Alam adalah sains dan sains adalah alam. Tuntun si kecil melihat hujan, kelereng yang menggelinding cepat di turunan, terbit dan tenggelamnya matahari, burung terbang dan dan biarkan ia berimajinasinya untuk memahaminya. Karena sains pun membutuhkan imajinasi. Einstein  berimajinasi sebelum akhirnya menemukan rumus tak terbantahkan, E = m.C2.
Ada yang berpendapat,TV membatasi imajinasi. Tapi saya lupa sumbernya. 

4. Kecerdasan Irama-Musik
Kecerdasan ini sepertinya paling cocok di kenalkan dengan media audio-visual seperti tv. Dengan memperdengarkan beragam jenis musik pada si kecil dan mengajarkan si kecil mengapresiasikan musik yang didengarnya dalam bentuk gerakan.
Tapi itu belum cukup, peran aktif orang tua tetap diperlukan untuk meningkatkan kreativitas si kecil seperti membantu si kecil bereksperimen dengan membuat bunyi-bunyian  dari berbagai alat di sekitarnya (tidak harus berupa alat musik sungguhan, mungkin memukul-mukul panci dan sendok) dan mengajarkan si kecil memainkan alat musik.
Mengapa kecerdasan ini penting walaupun kita tidak menginginkan si kecil kelak menjadi musikus? Karena musik mampu meningkatkan kecerdasan lainnya (effect mozart).



Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan ini memungkinkan membangun hubungan yang penting antara pikiran dan tubuh, dengan demikian memungkinkan tubuh untuk memanipulasi objek dan menciptakan gerakan. Seorang anak dengan kecerdasan ini menikmati berbagai aktivitas fisik dan cepat menyerap keterampilan baru.
Kecerdasan ini tidak didapat dengan membiarkan si kecil menghabiskan waktunya di depanTV tapi sesuai filosofi, bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Melalui bermain si kecil mengeksplorasi gerakan tubuhnya. Membantu perkembangan motorik kasar dan halusnya. Ini membuatnya mempunyai reflek yang baik terhadap suatu situasi yang membutuhkan ketangkasan fisik sampai kelak ia dewasa. Misal, si kecil akan lebih cepat dan tanggap menghindari lubang/batu di depannya ketika bermain sepeda.
Jadi jangan terlalu khawatir jika si kecil senang bermain kucing-kucingan atau mencoba-coba memanjat. Cukup diawasi dan diberi pengarahan.

Kecerdasan Interpersonal
Seperti kecerdasan lainnya, kecerdasan ini tidak lahir dengan sendirinya tapi dikembangkan melalui pembinaan dan pengajaran. Orang yang tidak cerdas secara interpersonal bisa dilihat dari peringainya yang mementingkan diri sendiri dan kurang sensitif.
Membiarkan anak bermain dengan teman sebayanya membuat anak belajar bekerja sama (dalam sebuah permainan), berbagi (pinjam meminjam mainan), saling mempercayai, mengungkapkan kasih sayang (persahabatan) dan yang tak kalah penting belajar menyelesaikan masalah. Dengan membantu si kecil mengenal tetangga, membuatnya belajar berinteraksi dengan orang lebih dewasa.

Kecerdasan Intrapersonal
Kemampuan memahami diri sendiri dan bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Orang dengan kecerdasan intrapersonal mampu mengendalikan dan mengarahkan emosi, termotivasi, memahami diri sendiri, bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri dan mempunyai harga diri tinggi. Dalam bahasa sederhana mereka ini penuh percaya diri, optimis dan tidak minder.
Karakter di atas dapat sejak dini dikenalkan pada si kecil dengan buku sebagai medianya. Mama atau papa bisa membacakan buku dengan suara lantang (read load) dongeng fabel, cerita religius atau cerita anak-anak lain yang menunjukkan hanya dengan keberanian dan kegigihan rintangan (tokoh jahat) bisa diatasi. Sebaiknya tokoh utamanya jangan Barbie (identik dengan kecantikan sempurna; putih, tinggi, langsing, bening dsb), untuk mengajarkan bahwa setiap orang punya keunikan dan dia pun bisa menerima keunikan dirinya kelak (percaya diri).
Kenapa buku? Hanya terjadi interaksi satu arah jika memilih TV. Dan jalan cerita akan berjalan cepat (tanpa bisa di jeda atau diulang), berbeda jika mama atau papa yang membacakan. Selain menciptakan ’bonding’ antara orang tua dan si kecil, si kecil mempunyai cukup waktu untuk mencerna cerita, bisa menginterupsi kapan saja untuk memahami cerita sekaligus bebas mengimajinasikan gambaran ceritanya. 

TV sebuah pilihan  untuk membuat si kecil  pintar tapi untuk membantu si kecil kelak berhasil tidak hanya di butuhkan nilai A atau suskes secara akademis saja. Emosi dan pendidikan sosial tak kalah penting, dan ini di dapat dari pengalaman hidup dan cerita pengalaman hidup (berinteraksi dengan orang lain atau membaca buku).
Sebagai seorang mama sekaligus  karyawan, bukan hal mudah untuk saya menerapkan idealisme ini. Tapi ketidakmudahan itu bukan alasan untuk tidak berusaha memberikan yang terbaik untuk si kecil. Saya yakin pekerja rumah tangga atau baby sitter bisa dijadikan partner untuk itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar